Perekonomian AmerikaSerikat (AS) berpotensi mengalami resesi atau terkontraksi secara beruntun dalam dua periode beruntun. Namun, efeknya diperkirakan tidak akan secara signifikan mempengaruhi aktivitas ekonomi Indonesia.
Ekonom senior yang merupakan mantan Direktur Eksekutif Bank Dunia atau World Bank, Mari Elka Pangestu mengatakan proyeksi ini dilandasi oleh keyakinan bahwa resesi Amerika Serikat tidak akan berat. Ini hanya sebatas perlambatan ekonomi.
“Tetapi bahwa perekonomiannya akan melambat. Itu saya pikir akan terjadi,” kata Mari Elka dalam program Power Lunch CNBC Indonesia, dikutip Jumat (16/8/2024).
Mari Elka mendasari perkiraannya ini dari data penciptaan lapangan kerja di Amerika Serikat yang masih cukup baik, seiring dengan masih cukup kuatnya tingkat konsumsi domestiknya.
Oleh sebab itu, dia menekankan potensi resesi yang lemah itu tidak serta merta membuat bank sentral AS, The Federal Reserve atau The Fed secara siginfikan menurunkan tren kebijakan suku bung acuan Fed Fund Rate dalam waktu dekat.
“Masih menjadi tanda tanya, seberapa cepat mereka akan bisa menurunkan suku bunga. Kalau analisa yang saya lihat sih, mereka akan secara bertahap menurunkan suku bunga,” ucap Mari Elka.
Mari Elka memperkirakan, tren kebijakan suku bunga ke depan masih akan tinggi dalam kurun waktu yang masih panjang. Karenanya, kebijakan moneter negara lain yang sangat terpengaruh kebijakan The Fed, seperti Bank Indonesia juga masih harus bersiap menahan suku bunga acuannya di level tinggi.
“Jadi kita akan tetap menghadapi suku bunga rata-rata yang jauh lebih tinggi dibanding dengan sebelum pandemi ya. Mungkin dua kali lebih tinggi ya,” ucap Mari Elka.
Suku bunga kebijakan The Fed saat ini masih di level 5,25% – 5,5%, sedangkan BI mempertahankan suku bunga acuannya di level 6,25% meskipun angka inflasi umum di Indonesia hanya 2,13%. Menurut Mari Elka, level suku bunga tinggi itu masih akan bertahan hingga dua tahun ke depan.
“Kelihatannya untuk dua tahun ke depan, dia akan tetap tinggi. Karena dia turunnya secara bertahap,” tuturnya.
Meski demikian, JPMorgan meningkatkan peluang resesi ekonomi Amerika Serikat tahun ini seiring dengan munculnya kekhawatiran baru terkait kondisi finansial negara tersebut setelah gejolak pasar minggu ini.
JPMorgan menaikkan probabilitas resesi AS atau global menjadi 35% pada akhir tahun. Angka ini naik dari 25% yang dibagikan dalam prospek tengah tahun bank tersebut.
Sementara itu, JPMorgan mempertahankan peluang periode resesi pada paruh kedua 2025 sebesar 45%. Langkah ini muncul saat investor meragukan apakah perlambatan ekonomi sudah dekat setelah laporan pekerjaan yang mengecewakan minggu lalu.
Namun, ada berita positif pada pasar tenaga kerja pada Kamis (8/8/2024), dengan klaim pengangguran mingguan lebih rendah dari perkiraan ekonom.
Goldman Sachs juga telah menaikkan perkiraan resesi AS menjadi 25% dari 15% selama akhir pekan, tetapi mengatakan resesi dapat dihindari mengingat kemampuan Fed untuk menurunkan suku bunga atau membeli obligasi.