Chief Economist Citi Indonesia Helmi Arman memperkirakan suku bunga Amerika Serikat (AS) atau Fed Fund Rate (FFR) bergerak turun sebesar 50 basis poin (bps) pada September tahun ini serta diikuti penurunan 50 bps lagi pada Oktober 2024.
“Setelah itu diikuti dengan penurunan sebesar 25 bps pada setiap pertemuan (FOMC). Sehingga di pertengahan tahun 2025, suku bunga Fed Fund Rate mencapai 3,25 persen,” kata Helmi saat pemaparan prospek ekonomi di Jakarta, Kamis.
Lebih lanjut, Helmi mengatakan bahwa siklus penurunan suku bunga AS sudah semakin mendekat. Hal ini didukung oleh tren data ekonomi AS dalam beberapa minggu terakhir yang semakin menunjukkan bahwa sektor manufaktur di negara itu semakin melemah dan tekanan inflasi semakin turun walaupun belum mencapai 2 persen.
“Tapi walaupun inflasi belum sampai 2 persen, kita juga melihat terjadi akselerasi tingkat pengangguran di AS yang ini dianggap sebagai leading indicator untuk tekanan inflasi ke depannya,” kata dia.
Helmi menilai, kemungkinan terjadinya soft landing di AS saat ini semakin kecil. Citi juga memandang bahwa perekonomian AS semakin mengarah ke resesi. Sehingga Citi berekspektasi bahwa suku bunga AS akan bergerak turun dengan cepat di awal siklus penurunan bunganya.
Helmi mengatakan, pasar keuangan global juga sudah merefleksikan ekspektasi tersebut. Hal ini sedikit banyak tercermin pada kurva imbal hasil AS yang mengalami penurunan selama beberapa minggu terakhir serta penurunan indeks dolar AS atau US dollar indeks (DXY).
“Seperti yang kita lihat sekarang DXY sudah berada di kisaran 102. Jadi kalau kita bandingkan dengan posisi awal Juli itu sekitar 105,” kata dia.
Mengenai dampak resesi AS bagi Indonesia, dari sisi ekspor, Helmi memperkirakan pelemahan consumer demand di AS kemungkinan dapat berdampak pada kinerja ekspor-ekspor tertentu di Indonesia.
Namun, kata dia, dampak terbesar resesi AS akan masuk melalui neraca arus modal dan dampak ini seharusnya positif. Ketika terjadi resesi di AS, biasanya di awal terjadi arus modal masuk ke negara-negara berkembang dan seharusnya hal ini terus membantu keseimbangan demand dan supply di pasar valuta asing (valas) di Indonesia.
“Seharusnya selama kuartal ketiga ini, kami perkirakan keseimbangan demand dan supply di pasar valas akan terjaga dengan cukup baik. Namun, menjelang akhir tahun ada beberapa risiko yang harus tetap diperhatikan, yaitu terkait dengan risiko eksternal seperti di luar Amerika maupun risiko-risiko domestik seperti posisi investor asing di instrumen jangka pendek di Indonesia yang masih cukup tinggi,” kata Helmi.